Akhir-akhir ini ramai dimedia sosial maupun elektronik berkenaan dengan Pemilu Gubernur DKI Jakarta. Banyak pro kontra bermunculan dari proses itu semua, terlepas dari pada itu, saya secara tidak sengaja menemukan sebuah tulisan menggelitik mengenai pro dan kontra pemimpin kafir atau non kafir. Tulisan ini saya ambil dari sebuah akun facebook *https://www.facebook.com/akhmad.sahal.5?fref=nf&pnref=story*
Mari kita simak bersama tulisannya:
HARAMKAH PEMIMPIN NON MUSLIM?
Akhmad Sahal
Pengurus Cabang Istimewa NU (PCINU) Amerika
Konstitusi RI membolehkan warganya untuk menjabat sebagai pemimpin pemerintahan, apapun agamanya. Pasal 28 D ayat 3 UUD 1945 berbunyi: Setiap warga negara berhak punya kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Namun sebagian kalangan Islam mengharamkan pemimpin non muslim, dengan mengacu Al-Qur’an. Terutama Al Ma’idah 51, Ali Imran 28, dan An Nisa’ 144. Apakah ini berarti konstitusi RI membolehkan sesuatu yang diharamkan Al-Qur’an?
Ayat-ayat tersebut intinya melarang menjadikan non-muslim sebagai auliya. Pangkal masalahnya terletak pada terjemahan kata auliya. Terjemahan Al-Qur’an Departemen Agama mengartikannya sebagai “pemimpin.” Tapi apakah terjemahan ini akurat? Bandingkan dengan terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Inggris, yang ternyata tak satupun mengartikan auliya sebagai pemimpin, melainkan teman dekat, sekutu, atau penolong. Yusuf Ali dalam The Meaning of the Holy Qur’an menerjemahkan auliya’ dengan friends and protectors. Dalam The Message of the Qur’an Yusuf Ali, dan The Qur’an M.A.S Abdel Haleem, terjemahannya allies. Dalam The Glorious Qur’an Marmaduke Pickthal dan The Koran N.J. Dawood, friends. Sedangkan dalamThe Qur’an T.B. Irving, sponsors.
Pertanyaannya, apakah ayat-ayat di atas adalah tentang larangan memilih pemimpin non muslim , atau larangan menjalin aliansi dengan non-muslim. Mari tengok asbabun nuzul-nya, yakni situasi dan peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat-ayat tersebut. Ini karena ayat Qur’an umumnya hadir sebagai respon Ilahi terhadap kejadian yang dialami Nabi dan Sahabat. Sehingga untuk mengetahui makna persis suatu kata atau ungkapan dalam suatu ayat, asbabun nuzul yang merupakan konteks pewahyuannya tak bisa diabaikan.
Konteksnya Peperangan
Dalam Tafsir Al-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, para ulama tafsir berbeda pendapat tentang asbabun nuzul QS 5;51. Satu riwayat menuturkan, turunnya ayat tersebut berkaitan dengan Perang Uhud. Dalam situasi kekalahan, ada prajurit muslim yang bermaksud meminta perlindungan kepada kaum Yahudi dan Nasrani. Lalu turunlah larangan menjadikan Nasrani dan Yahudi sebagai auliya.
Menurut riwayat lain, ayat tersebut turun saat Perang Khandaq, ketika Nabi dan kaum muslim dikepung kaum kafir Quraisy. Sahabat Nabi bernama ‘Ubadah bin Shamit yang punya kedekatan dengan kaum Yahudi menawarkan bantuan tentara dari sekutunya kepada Nabi. Abdullah bin Ubay bin Salul juga menawarkan hal yang sama. Maka turunlah teguran dari Tuhan untuk tidak beraliansi dengan Yahudi dan Nasrani. Dan kemudian terbukti kabilah Yahudi Bani Quraidzah bersekongkol dengan kafir Quraisy memerangi umat islam. Tetapi ‘Abdullah bin Ubay tetap mempertahankan aliansinya dengan kaum Yahudi, sambil seakan-akan tetap setia pada Nabi. Loyalitas mendua seperti ditunjukkan Abdulah bin Ubay ini dikecam keras oleh Al-Qur’an sebagai munafiqun (QS: 142- 144).
Bagaimana dengan QS 3: 28? Muhammad Abduh menegaskan, ayat ini turun menjelang penaklukan kota Mekah. Sahabat bernama Hathib bin Abi Balta’ah yang mempunyai menjalin korespondensi dengan kerabatnya di Mekah, memberitahu mereka tentang rencana ekspedisi tentara muslim ke Mekah, agar mereka mengamankan diri dan menjaga harta Hathib. Tapi korespondensi ini dipergoki oleh sejumlah sahabat dan dilaporkan ke Nabi. Lalu turunlah ayat ini.
Yang dimaksud dengan menjadikan non muslim sebagai auliya adalah meminta pertolongan atau menjalin pertemanan yang begitu dekatnya dengan mereka sehingga sampai pada tingkat saling menceritakan rahasia masing-masing. Di ayat lain , auliya disebut bithanah, yang berkonotasi “orang kepercayaan” yang mengetahui kondisi internal sekutunya. Dalam situasi perang, hal itu tentu saja bisa membahayakan kaum muslim sendiri, karena dengan begitu, pihak musuh jadi tahu tentang kekuatan dan kondisi internal mereka. Karena itu wajar kalau dilarang.
Namun dalam situasi damai, larangan tersebut dengan sendirinya tidak berlaku. Ini ditegaskan Rasyid Ridha yang menyatakan, ayat-ayat larangan menjalin persekutuan dengan non muslim tidaklah berlaku mutlak, melainkan situasional: konteks peperangan. Ada tiga alasan. Pertama, Nabi sendiri pernah beraliansi dengan kabilah musyrik yang tidak memerangi umat Islam, yakni kabilah Khuza’ah. Kedua, yang dilarang adalah aliansi yang berdampak negatif terhadap umat Islam yang mengarah pada terabaikannya Islam, merugikan umat, dan menceredai kepentingan mereka (khidzlan li dinik, idza’un li ahlih, idha’atun li mashalihihim ) Ketiga, QS 60: 8 membolehkan “berbuat baik dan berlaku adil” terhadap pemeluk agama lain yang tidak memerangi dan mengusir dari tanah kelahiran umat Islam.(Tafsir Al Manar, V., 278-279).
Bisa kita simpulkan, terjemahan kata auliya yang lebih konsisten dengan asbabun nuzul QS 5: 51, 3: 28 dan 4: 144 bukanlah “pemimpin,” melainkan “sekutu, teman dekat, penolong.” Ayat-ayat tersebut bukanlah tentang larangan mengangkat pemimpin dari non muslim, melainkan larangan menjalin aliansi dengan mereka dalam konteks peperangan. Dalam situasi damai, aliansi antara muslim dan non muslim dibolehkan.
Ada juga sih yang tetap ngotot untuk mengharamkan memilih pemimpin non-muslim dengan bersandar pada ayat di atas. Logikanya: kalo menjalin aliansi dengan nonmuslim saja dilarang, apalagi menjadikannya sebagai pemimpin.
Jawaban saya: ayat2 tersebut tidaklah berlaku mutlak melainkan situasional. Kalaupun kata "auliya" dimaknai sebagai pemimpin, larangan menjadikan non-muslim sebagai pemimpin pun hanya berlaku dalam konteks peperangan, manakala kaum non muslim nyata-nyata memerangi umat Islam. Ayat-ayat perang semacam ini tak bisa diterapkan begitu saja dalam konteks perdamaian. Menerapkan ayat2 peperangan untuk konteks perdamaian (seperti di Indonesia saat ini) jelas sebuah kerancuan cara bepikir yang fatal. Di sinilah pentingnya mengetahui asbabun nuzul dan rujukan kitab2 tafsir untuk bisa memahami suatu ayat. Tak.
Atas dasar itu, Kemenag sepertinya perlu merevisi terjemahan kata auliya pada ayat-ayat tersebut, dengan mempertimbangkan asbabun nuzulnya. Terjemahan yang tidak akurat terbukti menimbulkan salah pengertian yang meluas di kalangan sebagian muslim, seakan konstitusi RI yang membolehkan pemimpin non muslim bertentangan dengan Al-Qur’an. Padahal sejatinya antara keduanya tak ada pertentangan sama sekali.
Eksekutif, Bukan Khalifah
Bahkan kalaupun ayat-ayat di atas dimaknai sebagai pelarangan terhadap pemimpin non muslim, penerapannya untuk konteks Indonesia juga bermasalah.
Fikih politik klasik memang menyatakan pemimpin harus muslim. Tapi harap diingat, pemimpin di sini adalah khalifah, yang oleh Al-Mawardi dalam Al Ahkam Al-Sulthaniyah digambarkan sebagai pengganti kepemimpinan Nabi dalam hal hirasatut din wa siyasatut dunya, menjaga agama dan mengatur urusan dunia. Dengan kata lain, pemimpin yang mengemban tugas keislaman yang strategis, misalnya menjadi mujtahid yeng menggali hukum Islam dari Qur’an dan Sunnah, serta memimpin jihad.
Pemimpin dalam demokrasi modern bukanlah pengganti peran Nabi, dan sama sekali tak mengemban tugas keislaman strategis. Ia tak lebih sebagai administrator yang bertugas mengelola urusan publik. Dalam demokrasi, pemimpin hanyalah eksekutif atau pelaksana mandat dari rakyat sebagai pemegang kedaualatan tertinggi. Tidak seperti khalifah yang memegang kedaulatan tertinggi, pemimpin demokrasi dikontrol oleh parlemen, dan kebijakannya harus tunduk pada konstitusi. Kekuasaannya tidak tak terbatas.
Singkatnya, pemimpin yang kita pilih dalam demokrasi bukanlah khalifah, melainkan eksekutif yeng mengelola urusan rakyat, semacam “petugas” rakyat. Menerapkan kriteria-kriteria khalifah, seperti keharusan beragama Islam, untuk pemimpin semacam ini jelas salah alamat.
Yang harus diingat, prinsip utama dalam Islam menyangkut politik, termasuk kepemimpinan, berporos pada kemaslahatan publik atau kepentingan rakyat. Jadi asalkan tercipta pemerintahan yang bersih, amanah, bebas korupsi, dan terbangun tatanan sosial yang egaliter dan berkeadilan sosial, itu sesuai dengan Islam. Pemimpinnya, yakni pemegang kuasa eksekutifnya, bisa muslim, atau non muslim.
* Versi lebih pendek tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 25/ 4/ 2016.
Bismillah tawakaltu'alalloh.
Semoga Alloh memberi Rahmat dan Ridhonya kepada kita semua. Aamiin.
No comments:
Post a Comment