Tuesday, 7 March 2017

Ser Banser (NU), Nasibmu



Hmm... Seketika hatiku terhenyut membaca tulisan Pak Muhammad Sholihin di facebook, beliau mencurahkan pengalamannya dekat dengan Banser-banser NU yang ikhlas bela Agama Gusti Alloh dan perdamaian bangsa. Semoga Gusti Alloh selalu melimpahkan segala Rahmat dan Karunianya kepada para Banser, Aamiin Ya Alloh.

Setelah meminta izin untuk copas tulisannya, selanjutnya saya sajikan dalam uraian dibawah.

Pemilik tulisan ini adalah Bapak Muhammad Sholihin
https://www.facebook.com/muhammad.sholihin.7792?fref=ufi&rc=p
***


Sebagai Nahdliyyin saya sering bersentuhan dengan Banser. Pengajian rutin, akbar, karnaval, penanggulangan bencan, mantu sampai parkirpun mereka terlibat. Duh saya sebagai warga negara merasa kapiran kalau tidak ada Banser.


Saya sering iseng menggoda mereka dengan meminta rokok, "Mas minta rokoknya mas" kataku. Mas Banser inipun meraba-raba kantongnya di baju tebal seragamnya. Satu menit kira-kira dia baru berhasil mengeluarkan bungkusan rokok. Ketika disodorkan padaku ternyata tinggal dua batang yang sudah bengkong hampir putus karena tertekan-tekan dalam kantong sempitnya. Itupun JISAMSU yang dapat dihisap sampai batas maksimal karena tidak berfilter.



Aduh... Gagah-gagah demikian rokoknya eceran. Betul juga guyonan KH. Hasyim Muzadi, mereka hanya mampu membeli rokok eceran. Dalam acara-acara pengajian dan lainnya merekapun diberi konsumsi paling akhir, ya itupun kalau snack dan makanan berat sudah cukup untuk tamu-tamu dan jamaah tentunya. Kalau tidak ya makan seadanya.



Pernah ketika saya ndereake pak kiyai di kabupaten Semarang, dijemput delapan Banser yang menaiki empat motor. Ada yang gendut, gagah tapi motornya bebek kuno Yamaha. Untuk melancarkan perjalanan kiyaiku, empat pembonceng membawa peluit satu-satu. Mereka meniup bergantian untuk menyibak kemacetan jalan. Yah jangankan sirine, sumpritan saja kayaknya sudah berkarat.



Bayangkan, malam mengawal dan mengamankan acara, pagi mereka harus bekerja mencari nafkah. Ada tukang panggul, buruh tani, buruh pabrik, guru, tukang batu atau kuli batu. Demi khidmah pada guru dan kiyai mereka rela berpayah-payahan. Mungkin dirumahnya hanya tersedia beberapa liter beras saja. Tapi juga ada dosen, pedagang, dan bahkan doktor yang golongan ini sebagai pendonor cigarete atau jajan mereka.


Selama ini kemanapun saya blusukan di Jateng selalu menjumpai Banser. Setiap keramaian di pantura maupun jawa bagian selatan. Dalam penanggulangan bencana, Masya Alloh tanpa upah tanpa bayaran mereka berkhidmah pada masyarakat dilapisan apapun.

Hah... Kalau sejarah perjuangan membela negara janganlah bertanya lagi. Cikal bakalnya selalu aktif melawan penjajah. Apalagi masa revolusi 65, betapa besar jasanya meskipun setelah lahir orde baru mereka digencet segencet-gencetnya. Namun tak melawan tak mengeluh, tetap berkhidmah pada masyarakat.

Kini ketika NKRI terancam, merekapun tak mau bertumpang dagu pura-pura dungu. Nahi munkar dengan mencegah provokator kerukunan umat yang berkoar-koar di masjid. Mereka tidak tega ulamaknya diperolok-olok dan dijelek-jelekkan sebagai ahli bid'ah. Mereka tidak rela Pancasila sebagai kesepakatan ummat dilecehkan. Bukan hanya rokok dua gelintir taruhannya, tapi juga nyawa mereka.

Hah anehnya, pak Prof. Mahfud sang guru besar yang dikagumi mereka malah melihat sinis. Menyayangkan mereka dan dikabarkan di seantero dunia lewat tweetnya. Aduh kasian kang-kang banser, jasamu tak terlihat dari penggede-penggede jakarta yang selama ini kita tokohkan. Tapi saranku jangan surut, penghargaan Gusti Alloh Ta'ala jauh lebih besar dari pujian seorang pengamat. Lillahi ta'ala lillahi ta'ala.

Semoga amalmu diterima oleh Gusti Alloh, dan rizqimu lancar sehingga dapat memondokkan atau menyekolahkan anakmu sampai jadi profesor, dan yang jelas semoga rokokmu tidak dibeli dengan harga eceran. 

Niku dawuh Yai Ubed Suriyah Jateng.
Bravo Banser.

No comments:

Post a Comment