Kemaren ga sengaja nemu tulisan dari beranda facebook, tentang ceramah Cak Nun (Emha Ainun Najib) disebuah pengajian. Saya ngira Cak Nun itu kerjanya bikin puisi dirumah di Jombang :) , awal kenalnya kan beliau yang suka baca-baca puisi di tivi itu loh, yang pake background gelap cahaya gitu, pegang kertas sambil angkat-angkat tangan, tapi ternyata aslinya beliau itu penceramah.
Awas jangan sebut beliau Kiyai, beliau ga mau masyarakat mengenalnya sebagai Kiyai, Haji, Ustadz atau gelar-gelar semacam itu. Pernah suatu kali Cak Nun menjadi seorang pembicara disebuah seminar. Panitia membuat sebuah spanduk penyambutan yang isinya "Selamat Datang KH. Emha Ainun Najib'". Cak Nun pun bercanda sama panitianya "Mas, kalau gelar saya Kiyai Haji, terus gelar Rasulullah apa mas? Kanjeng Sepuh Kiyai Haji Panglima Besar Waliyullah Nabiullah bla bla bla .. Muhammad SAW" gitu..!!??
Dan kayaknya Cak Nun berhasil dengan cita-cita itu. Kebanyakan orang menganggapnya sebagai Budayawan, Penyair atau Seniman.
Terkadang ada saja yang sinis "Kok percaya sama omongan penyair, belajar agama kok dari seorang budayawan".
"Agama itu letaknya didapur, engga perlu dipamerkan diwarungnya. Engga masalah kamu masak didapur pakai gas, minyak, kayu atau apapun, yang penting yang kamu sajikan diruang tamu adalah masakan yang menyenangkan semua orang. Begitu juga dengan agama, engga masalah agama apapun yang dianut, yang penting output dimasyarakat itu baik. Jadi orang yang mengamankan, menentramkan, menolong saat dibutuhkan".
Pernah suatu kali saat diundang disebuah sarasehan, Cak Nun menyebutkan bahwa kita ini sesat, ulama-ulama sesat, semuanya sesat. "Coba tunjukan satu saja di Indonesia ini yang tidak sesat", kata Cak Nun saat itu.
Mereka yang tidak kenal dan tidak terbiasa dengan omongan Cak Nun, marah besar, terutama mereka yang masih muda-muda.
"Agama itu letaknya di
dapur, nggak perlu dipamerkan di warungnya...nggak masalah kamu masak di
dapur pakai gas, kompor biasa atau apa pun yang penting yang kamu
sajikan di ruang tamu adalah masakan yang menyenangkan semua
orang..begitu juga dengan agama, nggak masalah agama apapun yang di anut
yang penting output di masyarakat itu baik..jadi orang yang
mengamankan, menentramkan, menolong saat dibutuhkan.."
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/robbigandamana/belajar-agama-kok-sama-budayawan-cak-nun_5535db5d6ea8340e34da42d0
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/robbigandamana/belajar-agama-kok-sama-budayawan-cak-nun_5535db5d6ea8340e34da42d0
Cak Nun tidak ingin
masyarakat umum mengenalnya sebagai kyai, haji, ustadz atau gelar-gelar
semacam itu. Beliau sengaja mencopot gelar-gelar tersebut. Pernah suatu
kali Cak Nun jadi seorang pembicara dalam acara seminar. Panitia membuat
Spanduk penyambutan yang isinya kurang lebih : "Selamat datang KH Emha
Ainun Nadjib...."
Cak Nun pun bercanda sama panitia-nya, "Mas kalau gelar saya Kyai
Haji..terus gelarnya Rasullulah apa mas ..: Kanjeng sepuh Kyai Haji
Panglima Besar Waliyullah Nabiullah blablablablablabla..Muhammmad SAW."
Dan kayaknya Cak Nun berhasil dengan cita-citanya itu. Kebanyakan orang
menganggapnya sebagai tokoh budaya, penyair atau seniman. Ketika ada
jamaahnya Cak Nun yang bicara pemikiran (bukan ajaran) Cak Nun tentang
agama, mereka sinis : "Kok percaya sama omongannya penyair... belajar
agama kok dari seorang budayawan..!"
Tongkrongannya pun biasa saja, tidak menampakan diri sebagai seorang
kyai. Menurut beliau :
"Agama itu letaknya di dapur, nggak perlu dipamerkan di
warungnya...nggak masalah kamu masak di dapur pakai gas, kompor biasa
atau apa pun yang penting yang kamu sajikan di ruang tamu adalah masakan
yang menyenangkan semua orang..begitu juga dengan agama, nggak masalah
agama apapun yang di anut yang penting output di masyarakat itu
baik..jadi orang yang mengamankan, menentramkan, menolong saat
dibutuhkan.."
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/robbigandamana/belajar-agama-kok-sama-budayawan-cak-nun_5535db5d6ea8340e34da42d0
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/robbigandamana/belajar-agama-kok-sama-budayawan-cak-nun_5535db5d6ea8340e34da42d0
Cak Nun tidak ingin
masyarakat umum mengenalnya sebagai kyai, haji, ustadz atau gelar-gelar
semacam itu. Beliau sengaja mencopot gelar-gelar tersebut. Pernah suatu
kali Cak Nun jadi seorang pembicara dalam acara seminar. Panitia membuat
Spanduk penyambutan yang isinya kurang lebih : "Selamat datang KH Emha
Ainun Nadjib...."
Cak Nun pun bercanda sama panitia-nya, "Mas kalau gelar saya Kyai
Haji..terus gelarnya Rasullulah apa mas ..: Kanjeng sepuh Kyai Haji
Panglima Besar Waliyullah Nabiullah blablablablablabla..Muhammmad SAW."
Dan kayaknya Cak Nun berhasil dengan cita-citanya itu. Kebanyakan orang
menganggapnya sebagai tokoh budaya, penyair atau seniman. Ketika ada
jamaahnya Cak Nun yang bicara pemikiran (bukan ajaran) Cak Nun tentang
agama, mereka sinis : "Kok percaya sama omongannya penyair... belajar
agama kok dari seorang budayawan..!"
Tongkrongannya pun biasa saja, tidak menampakan diri sebagai seorang
kyai. Menurut beliau :
"Agama itu letaknya di dapur, nggak perlu dipamerkan di
warungnya...nggak masalah kamu masak di dapur pakai gas, kompor biasa
atau apa pun yang penting yang kamu sajikan di ruang tamu adalah masakan
yang menyenangkan semua orang..begitu juga dengan agama, nggak masalah
agama apapun yang di anut yang penting output di masyarakat itu
baik..jadi orang yang mengamankan, menentramkan, menolong saat
dibutuhkan.."
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/robbigandamana/belajar-agama-kok-sama-budayawan-cak-nun_5535db5d6ea8340e34da42d0
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/robbigandamana/belajar-agama-kok-sama-budayawan-cak-nun_5535db5d6ea8340e34da42d0
Cak Nun tidak ingin
masyarakat umum mengenalnya sebagai kyai, haji, ustadz atau gelar-gelar
semacam itu. Beliau sengaja mencopot gelar-gelar tersebut. Pernah suatu
kali Cak Nun jadi seorang pembicara dalam acara seminar. Panitia membuat
Spanduk penyambutan yang isinya kurang lebih : "Selamat datang KH Emha
Ainun Nadjib...."
Cak Nun pun bercanda sama panitia-nya, "Mas kalau gelar saya Kyai
Haji..terus gelarnya Rasullulah apa mas ..: Kanjeng sepuh Kyai Haji
Panglima Besar Waliyullah Nabiullah blablablablablabla..Muhammmad SAW."
Dan kayaknya Cak Nun berhasil dengan cita-citanya itu. Kebanyakan orang
menganggapnya sebagai tokoh budaya, penyair atau seniman. Ketika ada
jamaahnya Cak Nun yang bicara pemikiran (bukan ajaran) Cak Nun tentang
agama, mereka sinis : "Kok percaya sama omongannya penyair... belajar
agama kok dari seorang budayawan..!"
Tongkrongannya pun biasa saja, tidak menampakan diri sebagai seorang
kyai. Menurut beliau :
"Agama itu letaknya di dapur, nggak perlu dipamerkan di
warungnya...nggak masalah kamu masak di dapur pakai gas, kompor biasa
atau apa pun yang penting yang kamu sajikan di ruang tamu adalah masakan
yang menyenangkan semua orang..begitu juga dengan agama, nggak masalah
agama apapun yang di anut yang penting output di masyarakat itu
baik..jadi orang yang mengamankan, menentramkan, menolong saat
dibutuhkan.."
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/robbigandamana/belajar-agama-kok-sama-budayawan-cak-nun_5535db5d6ea8340e34da42d0
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/robbigandamana/belajar-agama-kok-sama-budayawan-cak-nun_5535db5d6ea8340e34da42d0
Cak Nun tidak ingin
masyarakat umum mengenalnya sebagai kyai, haji, ustadz atau gelar-gelar
semacam itu. Beliau sengaja mencopot gelar-gelar tersebut. Pernah suatu
kali Cak Nun jadi seorang pembicara dalam acara seminar. Panitia membuat
Spanduk penyambutan yang isinya kurang lebih : "Selamat datang KH Emha
Ainun Nadjib...."
Cak Nun pun bercanda sama panitia-nya, "Mas kalau gelar saya Kyai
Haji..terus gelarnya Rasullulah apa mas ..: Kanjeng sepuh Kyai Haji
Panglima Besar Waliyullah Nabiullah blablablablablabla..Muhammmad SAW."
Dan kayaknya Cak Nun berhasil dengan cita-citanya itu. Kebanyakan orang
menganggapnya sebagai tokoh budaya, penyair atau seniman. Ketika ada
jamaahnya Cak Nun yang bicara pemikiran (bukan ajaran) Cak Nun tentang
agama, mereka sinis : "Kok percaya sama omongannya penyair... belajar
agama kok dari seorang budayawan..!"
Tongkrongannya pun biasa saja, tidak menampakan diri sebagai seorang
kyai. Menurut beliau :
"Agama itu letaknya di dapur, nggak perlu dipamerkan di
warungnya...nggak masalah kamu masak di dapur pakai gas, kompor biasa
atau apa pun yang penting yang kamu sajikan di ruang tamu adalah masakan
yang menyenangkan semua orang..begitu juga dengan agama, nggak masalah
agama apapun yang di anut yang penting output di masyarakat itu
baik..jadi orang yang mengamankan, menentramkan, menolong saat
dibutuhkan.."
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/robbigandamana/belajar-agama-kok-sama-budayawan-cak-nun_5535db5d6ea8340e34da42
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/robbigandamana/belajar-agama-kok-sama-budayawan-cak-nun_5535db5d6ea8340e34da42
Saya jadi mikir-mikir baca ceramah beliau, saya coba kutip sedikit;
MASUK
SURGA ITU GA’ PENTING
Cak Nun
Cak Nun
Tulisan ini khusus
untuk para Gento (begundal), mereka yang sedang berproses mencari kebenaran
Tuhan.
Yang mengaku Alim atau
Ahli Ibadah atau Ustad minggir dulu, nanti dulu jangan komen. Jangan berharap
ada dalil-dalil dari Syeh Zulkifli Jabal Syueb Sanusi (embuh sopo kui? Ga tau
siapa itu) monggo.
Beberapa tahun
belakangan marak sedekah ajaib, yang sering digiatkan oleh itu, Si ‘Ustad
Nganu’, Cak Nun hanya mengingatkan. Sedekah itu dalam rangka bersyukur, berbagi
rejeki dan kebahagiaan. Bukan dalam rangka mencari rejeki, ingat itu!
Kalau anda mengharapkan
kembalian berlipat-lipat dari sedekah, itu bukan sedekah, tapi dagang. Paham?
Beliau tidak mengecam
juga, lah wong taraf imannya masih segitu kok. Kalau menyedekahkan uang, sepeda
motor, mobil, kapal terbang, kereta atau apapun itu, ya wis, kasihkan saja,
titik. Setelah itu jangan berharap apa-apa.
Walau kita yakin akan
dibalas dengan berlipat ganda, tapi ketidak tepatan dalam niat menjadikan
sedekah bukan lagi sedekah, melainkan sekedar jual beli. Sedekahnya sudah
bagus, tapi janji Tuhan jangan pernah dijanjikan oleh manusia, engga boleh!
Banyak orang beribadah
yang masih salah niat gara-gara manut omongan si motivator sedekah. Naik
haji/umroh biar dagangannya lebih laris, sholat duha biar diterima jadi PNS,
biar duit banyak, biar jadi milyarder, biar dihormati orang. Ibadah itu dalam
rangka bersyukur, titik!
Menangislah pada Tuhan
tapi bukan berarti jadi cengeng. Nabi dalam sholatnya menangis, tapi sebenarnya
itu adalah menangisi. Beda antara menangis dengan menangisi. Kalau menangis itu
kecenderungan untuk dirinya sendiri, tapi kalau menangisi itu untuk selain
dirinya; orang tua, anak, istri, kakek, nenek, sodara, sahabat dan seterusnya.
Ada seorang pedagang
miskin yang dagangannya engga laku, dia sabar dan ikhlas; ‘kalau memang saya
pantasnya miskin, dagangan saya engga laku, saya ikhlas, manut wae, yang
penting Tuhan ridho sama saya’. Malah keikhlasan seperti ini yang langsung
dijawab oleh Tuhan dengan rejeki yang berlimpah yang tak disangka-sangka
datangnya.
Tapi kalau kita yang
ditimpa sial, dagangan engga laku, biasanya langsung mewek; ‘Ya Tuhan kenapa
saya kok mlarat, miskin, dagangan engga laku, ga bisa beli motor, ga bisa beli
mobil, aku salah apa sih…??’ Waaaah malaikat langsung gregetan, nampar mukamu;
‘Oalaaaah , cengeng banget kamu ya…!!
Iman seseorang memang
tidak bisa distandarisasi. Tiap orang mempunyai kapasitas iman yang berbeda.
Makanya kalau jadi imam harus paham makmumnya. Makmumnya koboi tapi bacaan imamnya
panjang-panjang, disamakan sama anak pesantren. Akhire makmum dibelakangnya
ngedumel, ga ikhlas.
Cak Nun mengingatkan,
usahakan berbuat baik jangan sampai orang tau. Kalau bisa jangan sampai orang
lain tau kalau kita sholat. Lebih ekstrim lagi, jangan sampai Tuhan tau kalau
kita sholat (walau itu engga mungkin). Pokoknya lakukan apa yang diperintahkan
dan jauhi laranganNya, titik! Itu adalah sebuah bentuk keikhlasan, tanpa pamrih
yang luar biasa. Sudah suwung, sudah engga perduli dengan iming-iming imbalan
pahala, yang penting Tuhan ridho, engga marah pada kita.
Motong rambut atau kuku
engga harus nunggu hari Jum’at. Lah wong paling pengen ML aja kok ya harus
nunggu malam Jum’at, ini gimana sih? Itulah kita, tarafnya masih kemaruk
(serakah) pahala. Engga ada pahala, engga ibadah. ‘Ini jangan diartikan
meremehkan Sunnah Rosul’, pikir sendiri!
Surga itu engga
penting! Kata Cak Nun suatu kali. Tuhan memberi bias yang bernama surga dan
neraka. Tapi kebanyakan manusia hanya kepincut pada surga. Akhirnya mereka
beribadah tidak fokus kepada Tuhan. Kebanyakan kita beribadah karena ingin
surga dan takut pada neraka. Kelak kalau kita berada di surga, bakalan dicuekin
oleh Tuhan. Karena dulu sewaktu di dunia cuma mencari surga, engga pernah
mencari Tuhan. Kalau kita mencari surga belum tentu mendapatkan Tuhan, tapi
kalau kita mencari Tuhan otomatis mendapatkan surga.
Cukup sudah, jangan
nambah file dikepalamu tentang surga dan neraka. Fokuskan dirimu hanya pada
Tuhan. Karena sebenarnya orang yang berada di surga adalah orang yang mencari
Tuhan, Dzat yang sangat layak dicintai diatas segala makhluk dan alam semesta.
Begitulah Cak Nun, ceramah-ceramahnya bikin mbelinger nguras fikiran harus mikir. Yo wis, sakarepmu mau manut atau nolak Cak Nun, yang penting kamu jangan merugikan dan mengganggu orang lain.
No comments:
Post a Comment